Categories
ODOP

Komunitas ODOP: Sebuah Autobiografi

Holaaa! Kali ini saya nulis agak tidak biasa. Demi menyelesaikan tantangan wajib pekan ke-3 komunitas ODOP, saya persembahkan sebongkah cerita autobiografi.

Menjahit Mimpi

Menjahit Mimpi
Sumber gambar: Canva

“Mba, kemarin kirim tulisan untuk lomba RBM IP Jakarta ya?”, seorang temannya bertanya subuh itu. 

“Iya, mba. Kenapa ya?”

“Kayaknya menang deh itu.”

Dia kaget tidak percaya. Pasalnya, sudah 7 tahun ia tidak menulis dan tidak menyangka tulisannya mendapat apresiasi. Kabar itu menjadi pembuka hari yang menyenangkan baginya. Beberapa waktu setelahnya, perempuan itu baru tahu kalau tulisannya termasuk dalam sebuah buku bersama dengan 24 tulisan terbaik peserta lainnya. Walaupun demikian, buku tidak pernah sampai di tangannya karena beragam masalah teknis dan miskomunikasi. 

Wanita ini, Purnama Indah, minim pengalaman menulis. Sejak kecil, dia dekat dengan televisi, bukan buku. Ia terlahir dari keluarga tidak mampu. Seberapa tidak mampu? Ibunya sering memasak 1 bungkus mie instan untuk dimakan berempat dengan anggota keluarga lainnya. Untuk membeli mie instan saja tidak mampu, apalagi buku. Walaupun begitu, keluarga ini memiliki televisi yang sempat dibeli sebelum kepala keluarga tiba-tiba di-PHK. 

Suatu hari, perempuan ini diajak pergi oleh Ayahnya ke rumah seorang kerabat. Dikira hanya bertamu, sang Ayah ternyata meninggalkannya di sana seorang diri. 

“Indah mau sekolah? Tinggal di sini ya. Papa ga punya uang buat bayar sekolah. Nanti Papa ke sini setiap minggu.” Kenyataannya, Ayahnya datang 2 atau 3 kali dalam setahun. Hari itu menjadi hari yang tidak ia lupakan hingga dewasa. 

Di sana ia tidak berkawan. Sering dilanda bosan, ia mulai membaca. Di tempat ia tinggal, berbundel-bundel majalah tertata rapi di rak buku. Kerabatnya bekerja di suatu penerbit majalah wanita terkenal pada masanya. Membaca satu bundel majalah, ia mulai menyukainya. Lama-lama, ia keranjingan membaca. Di usia SD itu pula ia sudah membaca Oh Mama Oh Papa. 

Suatu saat, ia kembali lagi berkumpul dengan orangtuanya. Usianya 10 tahun kala itu. Bukan karena orangtuanya sudah mampu menyekolahkan, tetapi karena ada permasalahan keluarga sehingga orangtuanya harus membawanya kembali pulang. 

Dikarenakan akses pada buku terbatas, kebiasaan membacanya menurun. Sampai akhirnya ia masuk jenjang SMA. Sekolahnya memiliki perpustakaan bagus dan nyaman. Koleksi buku relatif lengkap. Tempatnya cukup cozy. Ketika kelas kosong, ia dan teman-temannya sering berkunjung ke perpustakaan untuk meminjam buku atau sekadar membaca tabloid. Ia kembali rajin membaca.

Ilustrasi Perpustakaan
Sumber gambar: Freepik

Kesenangan membacanya tetap bertahan hingga kuliah. Beberapa kali setelah menuntaskan membaca sebuah cerpen, ada sebuah gelisah mampir di batinnya. Kayaknya gue bisa nih nulis kayak gini. Begitulah, akhirnya ia mulai menulis. Setelah membaca 5 cerpen,  ia menulis 1 cerpen. Baca lagi, menulis lagi. Suatu waktu, ia beranikan diri mengirim sebuah cerpen untuk sebuah lomba di kampus. Tidak disangka, cerpennya menyabet juara 1. Uang hadiah lomba digunakannya untuk bayar sewa kosan dan mentraktir teman-teman di kedai mie aceh. 

Seminggu setelah wisuda, ia bekerja di sebuah perusahaan. Demi mewujudkan cita-cita menjadi seorang penulis, ia mencoba bergabung dengan komunitas menulis. Sebelum benar-benar bergabung, ia harus melewati masa orientasi. Berbagai materi dan tugas diberikan. Di akhir orientasi, dia tidak percaya kalau proses orientasinya diganjar kategori terbaik kedua. Semestinya ini menjadi awalan baik untuk ia mulai menggeluti dunia tulis-menulis. Tapi tidak. Ia berhenti menulis karena memutuskan sekolah lagi. Ia tidak lagi gemar membaca cerpen. Ia larut pada rutinitas. Terus larut hingga akhirnya menikah dan memiliki anak. Di dalam hatinya masih terpendam keinginan untuk menjadi penulis. Keinginan itu yang mendorongnya kembali untuk bergabung pada suatu komunitas menulis lainnya setelah memiliki anak. 

Bergabung di komunitas tidak serta merta membuatnya rajin menulis. Tidak ada perubahan signifikan pada keterampilan menulisnya. Pada masa tersebut, dia mendapat informasi tentang lomba menulis memoar bertemakan pengasuhan anak. Dengan kemampuan seadanya, dia mencoba menulis lagi.

Saat itu, ia menulis tentang anaknya yang dilanda candu pada gawai. Dari sejak bangun hingga tidur kembali, anaknya yang baru berusia 1 tahun terlalu lekat dengan gawai. Pelarangan hanya menambah sakit kepala karena anaknya akan meraung-raung, menangis jejeritan hingga membenturkan kepala ke lantai. Memang salahnya yang terlalu dini mengenalkan gawai. 

Kesalahan harus dibayar tunai. Puasa gawai diberlakukan tidak hanya bagi anaknya, tetapi juga bagi dia dan suaminya. Mereka serius bertobat. Beragam rencana bermain disusun, demi anak menjadi dekat kembali pada orangtuanya, bukan pada gawai. Beberapa minggu kemudian usaha membuahkan hasil, anaknya tidak lagi gemeter melihat gawai. Ini rangkuman kisah yang ia tuliskan dalam bentuk memoar untuk lomba kala itu. Juara 3 besar yang ia raih membuatnya tersadar, ia masih bisa menulis. Walau terhenti 7 tahun, tulisannya masih menarik untuk dibaca orang lain, setidaknya untuk juri lomba tersebut, Ali Muakhir. 

Setelahnya, ia masih menulis sekenanya. Sampai akhirnya datang tawaran menjadi pemimpin redaksi sebuah E-Bulletin komunitas. Dengan dukungan dari suaminya, ia terima tawaran tersebut. Setidaknya, dalam sebulan ia menulis satu kali untuk E-Bulletin. Ternyata kesibukan bertambah. Tidak hanya menulis, ia perlu juga mengatur organisasi. Beberapa bulan berusaha menyesuaikan diri, ia menyempatkan berhenti sebentar untuk bertanya kepada diri sendiri: apa yang sebenarnya kamu cari? Apakah kamu bersibuk diri di jalan yang benar? Bahagiakah kamu dengan segala prosesnya?

Self Talk
Sumber gambar: Canva

Ia masih mencari makna atas proses yang dilalui. Suatu hari suaminya mengabarkan dengan terpekik, “AdSense aku di-approve!” Suaminya bukan seorang penulis. Pria itu tidak gemar menulis. Ia memang tertarik pada web development, tapi tidak pada menulis. Tempo dulu, ia bergabung dengan komunitas blogger karena ia menikmati proses belajar mengenal web. Pada kala itu juga, ia mengajukan AdSense untuk blognya. Ditimbun kesibukan, ia lupa tentang adsense tersebut sampai akhirnya hari itu ia mengecek kembali email terkait.

Seperti menemukan kepingan yang hilang, suami-istri itu akhirnya memutuskan kerjasama. Suaminya mengurusi teknis web development, SEO dan segala jenisnya. Sedangkan si istri mempunyai tugas menulis. Semangat perempuan itu kembali penuh. Ia beranikan diri menjahit mimpi. Dengan kemampuannya yang seadanya, dia memulai kembali menulis blog yang sudah lama ditinggalkannya. Ia yakin, dengan ridho suaminya, Allah akan mudahkan perjalanannya. Satu yang ia tahu, memulai kembali perjalanan menulis kini tidak sendiri. Ada yang siap memeluk setiap gelisah. Ada yang bersegera membopong ketika terjatuh. Berbagai rencana berputar di kepala. Sebelum rencana dan eksekusi, langkah awalan yang utama adalah: melangitkan doa.

32 replies on “Komunitas ODOP: Sebuah Autobiografi”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *