Memberi tugas kepada anak sering saya lakukan. Dari sekadar mengambil barang, hingga menjaga Adek. Kadang berhasil, tapi lebih sering gagal. Wkwkwkwk. Jadi, kali ini saya mencoba praktik materi Komunikasi Produktif saat memberi tugas kepada anak. Untuk kalian yang belum tahu apa itu Komunikasi Produktif, saya sudah buat ringkasan materi Komunikasi Produktif yang saya terima di kelas Bunda Sayang Institut Ibu Profesional. Ringkasan materi dapat dibaca di sini ya.
Memberi Tugas kepada Anak: Abang menjaga Adek
Hari itu ada permintaan khusus dari suami dan anak: minta dibuatkan donat isi a.k.a bomboloni. Bahan donat sudah tersedia, tapi saya agak ragu, mungkin karena dadakan. Saya memang lebih suka merencanakan segala sesuatu sebelum akhirnya dieksekusi, pun dalam hal memasak dan bikin kue. Walaupun demikian, saya tetap menyanggupi membuat donat. Saya butuh bantuan untuk menjaga Adek (usia 1 tahun) yang sedang aktif berjalan.
Berhubung suami sedang work from home sehingga tidak bisa dimintai bantuan, saya meminta tolong Abang Ibrahim (usia 3 tahun) untuk menjaga Adek.
“Abang mau donat?”, tanya saya membuka jalan kesepakatan.
“Iya mau.”
“Tolong jaga Adek ya. Bisa?”
“Bisa.”
Saya serahkan Adek kepada Abang. Saya mulai menyiapkan perlengkapan membuat donat. Beberapa detik kemudian Adek menghampiri saya di dapur. Di lain tempat, Abang terlihat asik main sendirian. Saya berhenti sejenak lalu menggendong Adek. Saya menghampiri Ibrahim.
“Abang mau donat?”, tanya saya sembari menyembunyikan kesal.
“Mau.”
“Tolong jaga Adek, bisa?”
“Bisa.” Saya kira perlu tambahan penjelasan kepada Abang.
“Ajak Adek main bareng. Bisa?”
“Bisa.”
Saya tinggalkan Adek bersama Abang di dalam kamar Abang. Sembari menyiapkan peralatan, sesekali saya intip kegiatan Abang dan Adek. Abang terlihat mengajak bermain Adek, tetapi sering juga melarang Adek menyentuh mainannya. “Iiih jangan! Ini punya Abang! Adek yang ini aja, yang jelek.”
Tidak lama kemudian, Adek kembali menghampiri saya di dapur. Saya gendong Adek dan saya hampiri Abang. Saya komplain ke Abang karena tidak bisa menjaga Adek sesuai harapan saya. Saya tegaskan lagi kepada Abang untuk menjaga Adek dengan baik agar Adek tidak sering-sering mendatangi saya di dapur. Abang setuju. Adek kembali saya serahkan tanggung jawabnya pada Abang. Saya kembali ke dapur.
Beberapa menit berlalu, suasana agak kondusif. Saya intip sejenak ke dalam kamar Abang. Abang terlihat sedang membacakan buku kepada Adek. Yang dibacakan cerita tampak menyimak pembaca cerita. Beberapa detik kemudian bayi kembali berjalan ke luar kamar. Abang yang tiba-tiba diacuhkan di tengah ajang pertunjukan membacanya merasa kesal. Abang meminta Adek kembali ke kamar dengan agak memaksa. Dipeluknya erat Adek sehingga Adek kesulitan berjalan. “Adek di sini aja! Baca buku sama Abang!” Yang diajak bicara membalas berteriak. Teriakan satu diikuti teriakan lainnya. Saya memutuskan turun tangan. Mereka saya lerai. Adek saya gendong. Saya hampiri suami yang sedang kerja di kamar utama, “Aku ga bisa bikin donat. Kapan-kapan aja.” Drama ditutup dengan bendera putih.
Poin Komunikasi Produktif.
Saya mencoba mencermati apa yang salah dari cara komunikasi saya kepada Abang. Saya menemukan hal-hal berikut:
- Penyampaian pesan kurang jelas. “Abang bisa jaga Adek?” Apa yang dimaksud dengan ‘jaga’? Apakah Abang cukup memperhatikan Adek yang sedang bermain? Apakah Abang harus memastikan Adek tidak ke area dapur? Apakah Abang harus membuat benteng untuk Adek? Tidak ada penjabaran yang jelas tentang ‘menjaga’ ini. Apalagi penugasan itu disampaikan kepada anak usia 3 tahun yang belum banyak pengetahuan akan kosakata.
- Ada perbedaan pengertian atas durasi waktu penjagaan. Saya berharap Abang menjaga Adek sejak awal saya membuat donat hingga donat dihidangkan. Durasi ini terlalu lama dan, lagi-lagi, tidak disampaikan dengan jelas. Bisa jadi, 2 menit Abang berhasil membuat Adek menyimak ia membaca buku sudah termasuk kategori ‘menjaga Adek’ menurut Abang.
- Cara menyampaikan pesan kurang fokus. Saat saya memberi tugas kepada anak, saya tidak betul-betul menatap mata Abang. Saya memberi tugas sembari melakukan hal yang lain. Saya menduga, Abang tidak mendapatkan pesan pentingnya ‘menjaga Adek’ sehingga di awal sempat bermain sendiri tanpa melibatkan Adek.
- Tugas dan konsekuensi yang tidak sesuai dengan usia. Saya teringat ceramah seorang Ustadz bahwa anak yang belum dibebani kewajiban sholat, belum wajib juga dibebani tanggung jawab apapun, kira-kira begitu penyampaiannya. Di usianya yang 3 tahun, tugas menjaga Adek bisa jadi terlalu berat untuk Ibrahim. Ditambah lagi dengan konsekuensi yang diterima ketika gagal melaksanakan tugas: Bunda yang melotot. Lebih dari itu, diminta mengulangi tugas dengan benar berkali-kali. Kejam kali Mamak!
Bintang Penghargaan
Saya harus legowo menilai diri sendiri dengan 2 bintang dari 5 bintang. Saya perlu banyak belajar, kembali mengingatkan diri, dan berkomunikasi dengan anak sesuai dengan usianya. Ketika mengalami kejadian di atas, saya belum terlalu ngeh gambaran peristiwanya. Setelah dituliskan seperti ini jadi terlihat betapa Mamak tidak pas memberi tugas kepada anak. Heu.
Semoga kejadian ini bermanfaat bagi yang membaca. Mohon doakan saya agar menjadi Ibu yang lebih baik lagi untuk anak-anak.
Tabik!
4 replies on “Memberi Tugas kepada Anak (Jurnal Hari ke-6)”
Semangat selalu maaaakkk… Insyaallah panen Pahalanya ??
Masya Allah..makasih banyak mak semangatnya ???
[…] pengorbanan. Terkait donat, sudah pernah saya singgung pada tulisan saya sebelumnya yang berjudul Menjaga Adek. Latar belakang tulisan tersebut adalah permintaan suami yang meminta dibuatkan donat. Akhirnya? […]
[…] mungkin, saya menulis pada malam hari ketika anak-anak sudah tertidur. Namun, seringnya saya ikut tertidur selepas isya karena kelelahan. Oleh karena itu, […]