Categories
ODOP Parenting

Berbicara dari Hati ke Hati (Jurnal Hari ke-11)

Rutinitas seringkali membuat saya tidak peka atas apa yang dirasakan oleh orang-orang yang berada di sekitar saya. Berbicara dari hati ke hati hari ini terjadi begitu saja tanpa direncanakan dan cukup membuat saya tersentak. 

Selain untuk keperluan jurnal komunikasi produktif kelas Bunda Sayang Institut Ibu Profesional, tulisan ini saya niatkan menjadi jejak yang bisa dibaca oleh anak-anak kelak ketika mereka sudah dewasa. Betapa saya tidak ingin berhenti belajar untuk menjadi orangtua yang baik bagi anak-anak, termasuk belajar cara berkomunikasi. Tentang komunikasi produktif, saya sudah buat ringkasannya di sini jika teman-teman tertarik untuk membaca lebih lanjut. 

Berbicara dari Hati ke Hati

Siang itu saya sholat zuhur di ruang tengah setelah memastikan Dawud sudah tidur. Ibrahim menemani saya dengan tidur-tiduran di samping sajadah tempat saya sholat. Selepas sholat, saya turut tidur-tiduran di samping Ibrahim dengan mukena yang masih lengkap dikenakan. Wajah saya sejajar wajah Ibrahim. Kami sempat berpandangan beberapa saat dan dia mulai bicara. 

“Bunda, tadi pagi Abang cuma guling-guling bubur sumsum doang.” Saya tersentak. Pagi tadi saya minta dibelikan bubur sumsum kepada suami. Bubur sumsum ini enak sekali sehingga membayangkan akan memakannya saja sudah bikin good mood. Suami pergi beli bubur bersama kedua anak saya. Sepulangnya, saya buru-buru cek bawaan suami: ada 2 bungkus bubur sumsum. Satu bungkus saya masukkan kulkas untuk saya makan kemudian ketika sudah dingin. Saya suka sekali makan bubur sumsum dingin. Satu bungkus lainnya akan saya sajikan untuk suami. Karena ada hal mendesak yang harus saya lakukan, bubur sumsum suami tertunda disajikan. Ibrahim yang melihat bubur sumsum belum dibuka minta dibukakan. Dia mau makan bubur sumsum. Saya bilang sebentar karena ada yang harus dikerjakan dahulu. Ibrahim terus saja meminta dibukakan bubur dan saya masih konsentrasi dengan hal yang urgent. Tiba-tiba Ibrahim menyapa, “Bunda lihat deh”, bubur sumsum yang semula berada di atas meja sudah pindah lokasi menjadi di atas lantai. Bungkusnya pecah, sebagian isinya yang lengket terserak di atas lantai. Saat itu pukul 07.30 pagi dan lantai sudah kotor lengket dengan bubur sumsum! Saya sontak murka. Mood langsung jelek. Bagian bubur yang masih bisa diselamatkan, saya taruh ke mangkok. Saya terpaksa makan bubur yang masih hangat tersebut, sedangkan bubur sumsum yang ada di kulkas untuk suami. Sambil makan, saya masih mengomel ke Ibrahim. 

Rupanya kejadian tersebut masih membekas bagi Ibrahim. Dia jelaskan bahwa dia hanya berniat memainkan bungkus bubur (dia sebut guling-guling), tetapi bubur malah jatuh dan membuat saya marah di pagi hari. Saya merasa bersalah melukai hati Ibrahim hanya gara-gara bubur sumsum. 

“Abang sedih Bunda marah-marah?”, saya tulus bertanya sembari menatap matanya.

“Iya. Maaf ya Bunda.” Saya tidak punya alasan untuk tidak luluh dengan pernyataan maafnya. Saya ceritakan kenapa saya marah kepada Ibrahim dan saya pun meminta maaf sudah memarahinya. 

“Apalagi yang bikin Abang sedih?”

“Abang bangunin Bunda, tapi Bunda enggak bangun. Abang mau makan mie. Terus Abang sedih”, perbincangan ini saya ceritakan ulang kepada suami beberapa menit kemudian. Dari suami saya tahu, ini terjadi malam sebelumnya ketika saya tertidur selepas isya saat menyusui Dawud. Saat itu, Ibrahim belum tidur dan minta dibuatkan mie. Akhirnya saya dibangunkan oleh suami yang masih terjaga malam itu karena lembur. 

“Oh gitu. Maaf ya Abang. Apalagi yang bikin Abang sedih?”

“Abang mau main sama Bunda tapi cucian Bunda banyak sekali. Terus Abang sedih.” Saya kehilangan kata. Saya diam mengatur perasaan. Ada yang ngilu di hati. Memang sering sekali saya meminta pengertian Ibrahim yang ingin ditemani main oleh saya. Saya bilang saya harus mencuci, kadang saya bilang harus masak, harus ini dan harus itu. Fisik saya ada di dekat Ibrahim tapi ternyata saya tidak benar-benar hadir untuk Ibrahim. 

“Kita main yuk! Abang mau main apa?”

“Ayo! Tapi ini mukenanya dibuka dulu”

Poin Komunikasi Produktif.

Dari sepenggal cerita di atas, saya belajar beberapa hal terkait komunikasi produktif justru dari Ibrahim. Poin-poin berikut yang berhasil saya temukan:

  1. Beri penjelasan ketika lawan bicara dalam kondisi tenang. Saat kejadian bubur tumpah, Ibrahim tidak berusaha menjelaskan apapun. Tidak berusaha membela diri. Hanya bilang, “Abang ga sengaja, Bunda. Maaf, Bunda.” Pun jika disampaikan pada saat itu, belum tentu respon saya seperti ketika ia sampaikan setelah saya sholat: merasa bersalah. Dia mengajarkan saya, ketika menghadapi orang yang sedang marah tidak perlu kita defense macem-macem. Keluarkan saja pernyataan yang menenangkan, dalam case Ibrahim, ia meminta maaf. 
  2. Katakan isi hati dengan tulus tanpa kecenderungan menyalahkan. Saat mengungkapkan isi hati, Ibrahim tidak menyalahkan saya. Dia menceritakan pada kondisi-kondisi yang seperti apa dia sedih. Dengan begini, saya lebih terbuka menerima masukan. 
  3. Tatap mata ketika bicara. Dengan menatap mata, berbicara dari hati ke hati menjadi lebih terkondisikan. Pesan yang disampaikan mudah diterima oleh lawan bicara. 

Bintang Penghargaan.

Untuk praktik materi komunikasi produktif kali ini, saya memberikan nilai 3 bintang dari 5 bintang untuk saya pribadi. Banyak hal yang perlu saya perbaiki dalam berkomunikasi. Dari kejadian tersebut saya belajar bahwa belajar komunikasi produktif bisa dari siapa saja, termasuk dari anak. Berbicara dari hati ke hati mengajarkan saya untuk lebih menghargai perasaan anak.

Semoga kejadian ini bermanfaat bagi yang membaca. Jika ada tanggapan, boleh disampaikan pada kolom komentar ya. Terima kasih. 

Tabik!

Bekasi, 13 September 2020

2 replies on “Berbicara dari Hati ke Hati (Jurnal Hari ke-11)”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *