Categories
ODOP

Papa dan Sanak Saudara

Hari ini pukul 09.15 WIB

Aku terbangun oleh riuh suara orang-orang yang ramai berbincang. Kepalaku masih berat karena kurang tidur. Kenapa ribut sekali?

Beberapa detik kemudian aku tersadar, itu suara orang-orang berkumpul. Aku menduga sanak saudara telah datang. Mereka berbicara mengerubung. Kepalaku menjadi pening. 

Mama masuk ke kamar beberapa detik setelah aku merebahkan tubuh kembali, mencoba melanjutkan tidur. 

“Sekar, bangun. Saudara sudah berkumpul. Mandi dan temui mereka,” tidak menunggu jawaban, Mama segera keluar kembali dan menutup pintu kamar. Seolah tidak peduli dengan aku yang pura-pura tidur. Sanak saudara mengambil peranan penting selama 20 tahun kami hidup miskin. Berbekal belas kasih saudara, kami bisa melanjutkan hidup. Setiap akhir pekan, Papa akan mengajak aku atau adikku bertamu ke rumah saudara. Pulang dari sana, biasanya kami dibekali sejumlah uang yang cukup untuk makan kami sekeluarga sepekan ke depan. Begitu terus setiap pekan. Bergilir ke satu saudara lalu saudara lainnya hingga seluruh saudara di rantau Jakarta ini telah kami kunjungi. 

Aku beranjak mandi dengan malas. Semestinya kami ini perlu menyepi sebentar. Sekadar memaknai peristiwa dan kenangan yang datang susul menyusul. Tiba-tiba ada lubang menganga dalam hati. Aku berhenti di pintu kamar mandi. Aku sungguh tidak ingin berada dalam keramaian. Aku tidak ingin mandi. Aku ingin sendiri. 

“Jangan lelet, cepat mandi,” Mama sudah berada di belakangku membawa setumpuk kain batik panjang. Ekspresinya datar, seperti biasa. Terbuat dari apakah hati Mama? Kulihat ia masih bergerak ke sana ke mari. Kain batik panjang telah diletakkannya di ruang tamu. Kini, tangannya berisi piring untuk penganan yang dibawa sanak saudara. Ah Mama, pastilah ia sedang menahan gejolak yang sama denganku. Tapi ia memilih menjalani hidup seperti biasanya. Demi Mama, aku berangkat mandi. 

Kemarin pukul 08.05 WIB

Kubalas sebuah chat yang baru saja masuk di aplikasi Whatsapp. Kumasukan kembali gawai ke dalam saku celana jeans. Kuperhatikan Papa yang duduk di samping kiriku. Ia sedang memerhatikan rombongan orang yang satu per satu masuk ke dalam Commuterline yang belum lama sampai di stasiun Bekasi. Aku tidak sabar ingin mengatakan hal ini kepadanya.

“Pa, nanti setelah dari Lembang, masih mau bepergian?”, walaupun fisiknya terlihat masih gagah, pria 70 tahun ini sebenarnya mengidap asma dan penyakit jantung sejak belasan tahun yang lalu. Karenanya, aku ingin pastikan perjalanan berikutnya tidak memberatkan bagi pria tua ini. 

“Kemana?”, ia bertanya. 

“Tapi kali ini berdua aja sama Mama,” alih-alih menjawab, aku tambahkan informasi. 

“Kemana?”, pertanyaan yang sama, yang belum terjawab. 

“Ke Mekkah. Umroh,” aku lihat ada haru menyerbu dari dalam tubuh Papa dan berkumpul membentuk genangan air mata yang ia tahan setengah mati agar tidak tumpah. 

“Mau,” begitulah. Jawabannya seringnya singkat saja. Tetapi aku bisa merasakan bahagia yang berloncatan di senyum tipisnya. 

Perhatian kepada penumpang Kereta Argo Parahyangan. Kereta akan masuk pada jalur 4. Harap mempersiapkan diri di peron yang tersedia.

Kami bergegas merapikan tas. Akhirnya tiba juga, tamasya pertama keluarga kami. Lima tahun setelah bekerja, tahun ini aku mampu ajak keluarga bepergian seperti orang kaya. 

Hari ini pukul 12.15 WIB

“Kamu lupa Papamu ada penyakit asma? Kenapa diajak ke tempat dingin?”, terdengar riuh suara lainnya menyetujui pernyataan salah satu kerabat Papa. Dulunya, dia sering memberikan zakat fitrahnya pada kami. 

“Jadi anak coba peka sedikit sama kondisi orang tua. Jangan asal ambil keputusan,” yang bicara ini neneknya kakak beradik dengan nenek Papa. Seringnya dulu ia belikan baju lebaran untuk aku dan adikku. 

Kulihat Mama daritadi hanya diam saja melihat kumpulan orang ini menunjuk-nunjuk dan menyalahkan keputusanku mengajak Papa ke Lembang. Papa, yang menjadi topik pembicaraan, berada sekitar 3 meter dari kami terpisah dinding antara ruang tengah dan ruang tamu. Tetangga banyak berkumpul di ruang tamu menengok Papa. Di sini, aku ingin kabur menerobos kerumunan. Pergi dan menghilang. 

Kemarin pukul 12.05 WIB

“Duh, cakep-cakep bunganya. Warna-warni. Kalau sekarang kita beli, terlalu awal ya?”, Mama berbinar-binar melihat warna-warni tanaman berbunga yang dijajakan di sepanjang jalan Cihideung.

“Besok aja ya Ma, sekalian pulang,” sepertinya sudah lama betul aku tidak lihat binar di mata Mama serupa ini. Mobil sewaan melaju cepat menuju Tangkuban Perahu. Di Tangkuban Perahu, kami beberapa kali mengambil gambar dalam formasi: aku-Papa-Ibu. Adikku lebih senang menunggu di dalam mobil. 

Kadang aku kurang mengerti, kenapa orang suka datang kemari. Kabut Tangkuban Perahu terasa mistis bagiku, menimbulkan suatu perasaan yang sunyi dan terasing. Dipilihnya Tangkuban Perahu sebagai tempat pertama yang kami kunjungi semata-mata karena kami belum bisa check in hotel dan Tangkuban Perahu berlokasi tidak jauh dari tempat kami akan menginap. Setelah dirasa cukup menghabiskan waktu, kami memutuskan pergi ke hotel. Di hotel, kami bercengkrama. Kami cerita tentang masa lalu. Kami cerita tentang impian. Kami bercerita tentang rencana membeli bunga esok hari. Ah, momen ini sepertinya sudah belasan tahun tidak hadir dalam keluarga kami. Seringnya tertekan karena utang yang menumpuk. 

Selepas magrib, kami berencana makan di sebuah resto terenak yang terletak tidak jauh dari hotel. Rencana tinggal rencana. Papa mendadak sesak napas. Adikku lari ke bagian resepsionis meminta alat bantu pernapasan. Aku mencoba mengipasi Papa yang bernapas satu-satu. Mama berdoa. Di depan kamar mandi, kami berusaha semampu kami menjaga Papa tetap sadar. Tangan Papa terlihat bergerak liar seperti ingin menggapai. Kesadarannya menurun. Mama berdoa dengan tangisan yang mengguncang bahunya. Aku gelisah menunggu kedatangan Adikku yang seharusnya membawa alat bantu pernapasan. 

Kemarin pukul 20.10 WIB

Aku letih mengetik jawaban untuk chat yang masuk. Demi menghemat batre dan kesabaran, kumatikan gawai. Kupandangi wajah Mama yang sedang menatap jalanan dari kaca mobil. Bersamanya tidak ada pot dengan bunga warna-warni. Aku ingin belikan bunga warna-warni untuk Mama, walaupun bukan dari Lembang. Semoga bunga-bunga tersebut dapat membuat semarak hatinya berhari-hari kemudian. 

Adikku masih sibuk dengan gawainya. Beberapa kali ia meminta nomor telepon saudara pada Mama. Kuat juga matanya mengetik di dalam mobil yang berjalan cepat. Aku ingat percakapan kami berempat siang tadi saat mengingat kembali masa sulit hidup kami. 

“Memang mereka sering membantu kita selama ini. Tapi, jika nanti Papa sudah meninggal, kalian tidak perlu berhubungan lagi dengan mereka,” ucap Papa siang itu. Tadi aku lupa bertanya pada Papa kenapa kami tidak boleh berhubungan lagi dengan saudara. 

Ambulans melaju cepat membawa kami dan jenazah Papa menuju Jakarta.

Keterangan: Cerpen ini telah direvisi sebagai tindak lanjut sesi Bedah Karya Kelas Tips Menulis Cerpen bersama Zya Verani yang berlangsung pada 24 Oktober 2020.

One reply on “Papa dan Sanak Saudara”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *