Miscommunication dengan pasangan tidak jarang terjadi pada pasangan suami istri yang baru menikah hingga yang sudah puluhan tahun menikah. Sayangnya, permasalahan ini sering tidak segera dicari akar permasalahannya dan diselesaikan. Miskom dibiarkan berlarut-larut dengan alasan menghindari pertengkaran. Pada akhirnya miskom membawa ledakannya sendiri di dalam keluarga. Tumben ya opening-nya agak horor. Wkwkwkwk.
Sejatinya, saya mengingatkan diri sendiri betapa pentingnya selalu memperbaiki komunikasi dengan pasangan. Oh iya, saya sudah pernah buat ringkasan materi Komunikasi Produktif loh. Teman-teman yang ingin membaca ringkasannya bisa klik di sini. Materi ini disampaikan dalam rangka pembelajaran di kelas Bunda Sayang Institut Ibu Profesional.
Kesepakatan dengan Suami
Berbeda dibandingkan dengan jurnal-jurnal sebelumnya, kali ini saya menuliskan jurnal komunikasi produktif saya dengan pasangan. Miscommunication dengan pasangan kerap menimpa kami dan saya kira perlu untuk dituliskan sebagai jejak belajar kami sebagai pasangan.
Jadi, siang itu saya sudah membuat kesepakatan dengan suami tentang siapa yang akan makan siang duluan. Di rumah, kami tinggal berempat: saya, suami, dan 2 anak (usia 3 tahun dan 1 tahun). Sebisa mungkin, anak-anak selalu dalam pengawasan dan penjagaan kami. Si Sulung mungkin bisa diawasi dari jauh, tapi tidak dengan si Bungsu. Tempo hari kami temukan si Bungsu makan tanah. Lain waktu, kami terkaget-kaget ketika si bayi berusaha mencabut colokan televisi. Pada kesempatan lain, kami tergopoh menghampiri adek yang tiba-tiba menangis. Ternyata ia tertimpa sepeda yang diparkir di dalam rumah. Begitulah, betapa kami harus selalu mengawasi dari jarak dekat pergerakan si bayi yang baru bisa jalan ini.
Anyway, kami sepakat bahwa saya akan makan siang duluan dan suami akan menjaga Adek Dawud saat saya makan. Ketika waktunya makan siang Abang dan Adek sedang bermain di ruang tengah dan saya bersiap makan siang. Oh ya, dapur dan ruang tengah di rumah kami hanya dipisah meja sehingga saya tetap bisa melihat anak-anak yang bermain di ruang tengah ketika saya di dapur mengambil makanan.
Ketika mengambil makanan, tiba-tiba suami menghampiri dan turut mengambil makan. Yak, kami akhirnya makan siang bersama-sama. Oke, karena ini tidak sesuai dengan yang sudah direncanakan sebelumnya, saya perlu mengambil tanggung jawab mengawasi anak-anak sembari makan. Tidak ada komplain yang saya sampaikan kepada suami. Mungkin ia terlalu lapar dan tidak bisa menunggu saya yang sebelum makan masih mondar-mandir beberes yang lain.
Semuanya terlihat baik-baik saja. Anak-anak masih duduk dan bermain bersama. Saya menyuap satu sendok nasi pertama sembari melirik ke tempat anak-anak bermain. Sebentar, mulut Adek terlihat mengunyah sesuatu. Pandangan saya langsung tertuju pada genggaman tangannya. Ada yang digenggam Adek: sebatang krayon! Saya bergegas menghentikan makan dan berlari ke arah Adek. Gigi dan lidahnya bewarna krem, persis warna krayon yang ia pegang. Ada gumpalan krayon di bagian tengah lidah dan sedikit menempel di gigi atas. Saya bersihkan mulut Adek dengan baju yang ia kenakan. Sedetik kemudian saya tersadar: Dih, ngapa dibersihin pake baju dia. Ribet lagi nyucinya dah ah.
Dengan terburu-buru, saya menggendong Adek ke kamar dan langsung saya susui. Setelah cukup menyusu, Adek meminta bermain ke ruang tengah seperti sebelumnya. Adek kembali bermain dan saya kembali makan. Saat itu saya lihat suami saya sudah selesai makan (cepet juga makannya!). Dengan raut muka yang seperti menyesal, ia mengambil alih mengawasi anak-anak bermain. Saya bisa lanjut makan dengan wajah tanpa senyum, masih dongkol sama suami. Beberapa waktu kemudian, ketika keadaan agak kondusif, suami meminta maaf. Ia menyesali kejadian térsebut. Ia berdalih kami tetap bisa makan siang bersama sembari mengawasi anak-anak.
Belajar dari Miscommunication dengan Pasangan
Pada sepotong kejadian di atas, saya mencatat beberapa poin komunikasi sebagai berikut:
- Pastikan pasangan menatap mata kita ketika kita ajak bicara. Ketika saya membuat kesepakatan dengan suami tentang siapa yang akan makan siang duluan, kondisi suami sedang melihat handphone. Matanya tidak fokus menatap saya yang pada saat itu sedang menatap matanya. Saya menyadari hal itu dan memilih untuk tidak meminta suami berhenti sejenak bercengkrama dengan handphone. Kenapa begitu? Biar cepet aja, udah laper bener. Wkwkwk. Dengan demikian, ada porsi kesalahan saya di sini.
- Ketika suami tiba-tiba makan siang di jadwal yang seharusnya ia mengawasi anak-anak, saya tidak komplain. Saya memilih diam dan langsung mengambil tanggung jawab mengawasi anak-anak sembari makan. Kenapa tidak komplain dan mengingatkan suami akan kesepakatan yang sudah dibuat beberapa menit sebelumnya? Simply, untuk menghindari pertengkaran. Lalu, kenapa saya tidak menunda makan jika ingin mengambil tanggung jawab mengawasi anak-anak? Coy, gue laper bener. Please deh ah!
- Saya memilih cemberut dibandingkan marah mengungkapkan kesal saat menemukan Adek yang makan krayon. Saya kira ini cenderung positif. Cemberut itu adalah upaya saya menahan marah pada suami. Saat itu, saya masih dibakar kesal. Seringnya, pilihan kata saya menjadi tidak apik jika bebicara saat kesal. Jadi, saya kira diam sejenak cukup membantu. Anggap saja wajah cemberut sebagai residu dari upaya menahan marah. Wkwkwk. Saya tidak mengungkapkan kesal sampai pada akhirnya suami yang meminta maaf.
Bintang Penghargaan.
Atas kejadian tersebut di atas, saya memberi nilai 3 bintang dari 5 bintang. Banyak hal yang perlu diperbaiki. Dengan dalih menghindari pertengkaran, komunikasi yang terjadi justru tidak efektif. Ada baiknya, saya menyampaikan apa yang saya harapkan pada suami dan berusaha menahan lapar demi kondisi yang lebih kondusif. Harapannya, miscommunication dengan pasangan ini tidak terjadi lagi ke depannya atau setidaknya berkurang kejadiannya. Saya akan belajar lagi strategi menyampaikan pesan yang efektif demi komunikasi yang lebih baik.
Saya kira segitu dulu jurnal harian bertema komunikasi produktif ini. Semoga yang sedikit ini bermanfaat bagi pembaca.
Tabik!
9 replies on “Miscommunication dengan Pasangan (Jurnal Hari ke-5)”
wah ilmu banget nih, terima kasih untuk share ilmu dalam keluarga. salam kenal
Wah..sama-sama. Salam kenal juga ya
Walau belum punya pasangan( eh heheh), tapi ilmu kaya gini penting banget difahami dan praktekkin dari sekarang, minimal sama temen dulu deh hihi. Komunikasi produktif itu semacam komunikasi asertif mungkin yaaa.
Iya semacam itu kali ya mba. Aku juga baru dapet ilmunya ini mba
Saya juga PR banget ini komprod dengan pasangan. Kemarin pas buncek juga ambil mentoring komprod dengan pasangan. Semangat belajaarrr 🙂
Waah IP mana mba?
Pengen menerapkan ilmunya tapi belum punya pasangan nih, hahah. Btw ilmunya bermanfaat banget kak, insyaAllah bisa saya terapkan di kemudian hari. Terimakasih sudah share pengalaman nya kak, bisa jadi pembelajaran buat saya 🙂
Aamiin yaa Rabb. Semoga Allah kasih pasangan terbaik ☺️
[…] kondisi pasangan ketika akan meminta tolong. Pada tulisan sebelumnya (boleh lihat di sini ya), suami kurang memerhatikan kondisi saya apakah mampu membuat donat hari itu dengan kendala yang […]