Categories
Uncategorized

Belajar Logika Berpikir

Hai Bund! Hari ini saya abis belajar tentang logika berpikir. Bermula dari liat salah satu postingan akun klub buku di instagram, eh ternyata lagi ada giveaway yang berhadiah buku terjemahan yang temanya sepertinya tentang science atau logika berpikir gitu kayaknya. Untuk ikut giveawaynya, kita perlu membuat resume dari salah satu kelas online dari klub buku tersebut yang pematerinya adalah Mba X atau resume dari salah satu highlight instagram storynya Mba X ini. Kenapa perlu disamarkan? Karena belakangan, setelah cari tau tentang mba ini kok agaknya kurang sreg. Tapiii, kadung udah pelajarin highlightsnya, bahkan udah bikin carousel instagram dong, demi mau ikut giveawaynya..wkwkwkwk. Sebagai rekam jejak, boleh lah ditaro di sini aja ya hasil ngulik highlight instagram story doi yang temanya tentang belajar logika berpikir. Hmm..mungkin nanti saya mau kasih tau juga kenapa saya kurang sreg sama beliau ini.

Apa itu Logika Berpikir? 

Sebelumnya saya mau klaim dulu, sumber belajar saya terbatas hanya dari instagram story Mba X ini yang kasih penjelasan, contoh kasus dan hasil tanya jawab dengan netizen. Jadi, jika ternyata penjelasannya kurang menyeluruh, semata-mata karena memang keterbatasan sumber pembelajaran. 

Logika adalah alur penalaran untuk menarik simpulan dari premis-premis yang tersedia. Logika digunakan untuk membaca konsekuensi dari premis-premis yang ada. Jadi, logika ini adalah struktur berpikir yang digunakan untuk mengambil kesimpulan. Semoga ga berat ya bahasanya. 

Apa itu Premis?

Premis adalah klaim atau pernyataan yang bernilai benar atau salah. Apa ada pernyataan yang tidak bernilai benar atau salah? Ada. 

Contoh premis: 

  1. Orang Indonesia suka pesta
  2. Orang Austalia pecinta kucing 
  3. Ada ikan yang bisa terbang

Sedangkan, contoh pernyataan yang bukan premis adalah: 

  1. Pergi ke pantai
  2. Guntinglah kuku itu
  3. Jangan putusin dia

Fakta termasuk ke dalam premis. Bagaiman dengan opini, apakah termasuk juga dalam kategori premis? Bisa ya, bisa tidak. Tergantung, apakah opini tersebut bernilai benar atau salah. 

Cara untuk menentukan premis adalah dengan mengecek apakah premis tersebut bisa difalsifikasi atau enggak. Apa itu falsifikasi? Falsifikasi adalah pembuktian sebaliknya. Rumit ya? Wkwkwkwk. Ayodeh pakai contoh!

Contoh Premis: 

Semua orang Bandung tingginya >160 cm.

Untuk mengecek premis tersebut, kita gunakan pembuktian sebaliknya: apakah ada orang Bandung yang tingginya 160 cm atau kurang dari 160 cm? Jika ada, maka premis tersebut salah. Saya kasih contoh premis lagi ya Bund.

Ada ikan yang bisa terbang.

Untuk mengecek premis tersebut, dibuktikan apa ada ikan terbang? Jika tidak ada (semua ikan tidak bisa terbang), maka premis tersebut salah. 

Lalu apa efeknya jika sebuah premis salah? Premis yang salah akan berpengaruh pada kesimpulan yang salah, selama logika berpikirnya benar. Selain dipengaruhi oleh premis yang salah atau benar, kseimpulan juga dipengaruhi oleh kecukupan premis. Maksudnya? Katakanlah, untuk mencapai pada sebuah kesimpulan, kita memerlukan 100 premis. Tapi, entah karena terburu-buru atau apa, kita sudah menarik kesimpulan berdasarkan 50 premis yang ada. Kesimpulan yang dihasilkan menjadi tidak akurat. 

Penarikan Kesimpulan

Lalu, bagaimana contoh penarikan kesimpulan? Mba X ini memberikan beberapa contoh penarikan kesimpulan yang kemudian ditanyakan kepada followernya, apakah kesimpulan tersebut valid atau tidak. Saya kasih contoh ya.

(1) Semua bebek menggonggong

(2) Donal adalah bebek

Kesimpulan: Dengan demikian, Donal menggonggong. (Valid)

Untuk menarik kesimpulan, kita perlu mengabaikan pengetahuan di luar premis yang ada. Sebenarnya kita tahu, bebek tidak menggonggong, tapi pada premis dikatakan bebek menggonggong. Logika berpikir dalam menarik kesimpulan harus merujuk pada premis-premis yang ada. Itu kenapa, jika premis yang digunakan salah, kesimpulan yang dihasilkan juga ikut salah.

Ada lagi satu contoh tentang pengambilan kesimpulan yang tidak akurat karena kurangnya premis. Mba X mencontohkan, dia baru saja membeli sebuah alat perekam yang membutuhkan memori. Dia ingin membeli memori tersebut dengan pertimbangan: ukuran, kapasitas, dan harga memory card. Ukuran memory card yang dibutuhkan adalah micro, maka ia menyeleksi beberapa jenis memory card micro sesuai dengan kapasitas dan harganya. Pilihannya adalah:

  1. Kapasitas 32 GB, harga 50 ribu
  2. Kapasitas 64 GB, harga 70 ribu
  3. Kapasitas 128 GB, harga 90 ribu

Dengan mempertimbangkan harga dan kapasitas, maka ia memutuskan membeli memory card yang kapasitasnya lebih besar (128 GB) karena harganya lebih murah. Toh kapasitas yang besar juga tetap akan terpakai nantinya, begitu pikirnya. Tapiiii, ternyata memory card tersebut tidak dapat digunakan pada perangkat karena ada batas maksimum memory card: maksimal 32 GB. Variabel batasan maksimum memori pada perangkat perekam tidak dipertimbangkan karena ia tidak mengira bahwa ada batasan maksimum. Alhasil, memory card tidak dapat digunakan dan dia harus beli memory card baru lagi yang sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan.

Bagaimana Bund, menarik ya belajar logika berpikir? Wkwkwkwk. Pengetahuan seperti ini menarik juga, sesekali bisa dilatih juga untuk mengasah kemampuan logika berpikir. Tapi, ini diterima sebagai salah satu pengetahuan aja ya Bund, tidak perlu diimani secara berlebihan. Tentang kenapa saya kurang sreg sama Mba X ini, ga jadi deh diungkap. Biar menjadi rahasia. Wkwkwk. Semoga bermanfaat ya Bund 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *