Kira-kira 3 pekan lalu saya belajar di kelas Akademi Keluarga (AKU) secara offline yang temanya tentang Hamil, Melahirkan, Menyusui, dan Menyapih. Materi menyapih ini sebenarnya adalah materi tambahan karena dirasa perlu untuk disampaikan serangkai dengan hamil, melahirkan, dan menyusui. Pada salah satu penjelasan, ustadzah ceritakan tentang kisah Hajar, istri Nabi Ibrahim sekaligus Ibunda Nabi Ismail. Kisahnya sudah jamak saya dengar tapi entah mengapa hari itu terasa berbeda. Hikmah dari kisah tersebut begitu meresap ke dalam diri saya. Saya perlu banyak belajar dari Hajar tentang peran seorang istri dan ibu.
Istri yang Taat
Apa teman-teman pernah mendengar kisah Hajar yang ditinggalkan Ibrahim di sebuah lembah tidak berpenghuni? Jika belum, izinkan saya kisahkan sekelumit.
Suatu hari Hajar diajak bepergian oleh Ibrahim. Sebagi istri solihat, Hajar menurut pada suaminya tanpa banyak tapi, tanpa banyak syarat. Dengan membawa Ismail yang saat itu masih bayi, mereka pergi ke sebuah tempat. Sampai di tempat tersebut, tidak lama kemudian, Ibrahim berbalik badan lalu berjalan pergi. Hajar yang kaget bertanya hendak kemana Ibrahim pergi. Ibrahim tidak menjawab. Kedua kalinya, Hajar bertanya hendak kemana Ibrahim pergi. Masih, Ibrahim tidak menjawab. Dengan kecerdasannya, Hajar mengganti pertanyaan, “Apakah Rabbmu yang memerintahkan engkau meninggalkan kami di sini?”. Ibrahim menjawab dan mengiyakan pertanyaan tersebut.
Hajar tahu, suaminya adalah hamba yang taat atas perintah Allah. Pernyataan Hajar setelahnya menjadi bukti atas kuatnya iman seseorang. Hajar ikhlas menerima keputusan Allah untuknya dan untuk anaknya. Hajar ikhlas menerima sikap Ibrahim. Hajar adalah contoh dari seorang istri yang taat pada suami.
Saya jadi terbayang, perjalanan dengan seorang bayi tentunya bukan perjalanan sederhana. Belum lagi perjalanan menggunakan hewan, berapa lama waktu yang ditempuh? Belum lagi bicara udara panas padang pasir. Sesampainya di tujuan lalu ditinggalkan, alamak! Perempuan baper ada kemungkinan dia maki-maki suami di tempat. Tapi tidak dengan wanita mulia ini. Dia yakin, apa-apa yang Allah putuskan untuknya pasti baik.
Hal ini menjadi pelajaran berharga untuk untuk saya. Dalam keadaan apapun, selama suami menaati Allah, taati suami. Dia adalah surga atau neraka. Dia adalah yang membebaskan saya dari beratnya beban mencari nafkah. Dia adalah ayah dari anakku yang bersedia terus menerus belajar untuk menjadi sosok ayah terbaik, walau tanpa teladan di masa lampau.
Semoga luasnya hati hajar, kokohnya keyakinan, dan gigihnya usaha Hajar mengalir pada saya.
Ibunda yang Gigih
Selepas kepergian Ibrahim, Hajar segera mencari minum untuk anaknya yang menangis kehausan. Ia letakkan anaknya di lembah, ia berlari menuju bukit Shofa. Sampai di sana, air tidak ada. Lalu ia berlari mencari air menuju bukit Marwah. Begitu terus mondar-mandir hingga 7 kali dan akhirnya air terpancar dari dekat kaki ismail.
Kenapa ya Hajar tidak pindah saja ke tempat yang lain jika memang tidak ditemukan air di sana? Kenapa berulang mengunjungi tempat yang sama? Para ahli dan kompeten di bidangnya menyatakan bahwa berkali-kali Hajar melihat fatamorgana air pada tempat yang sama. Jika sedang di bukit Shofa, ia melihat fatamorgana air di bukit Marwah. Jika sedang di bukit Marwah, ia melihat fatamorgana air di bukit Shofa. Ini menggambarkan gigihnya usaha Hajar, tidak peduli darimana kelak Allah akan turunkan rezeki, tugasnya hanya berusaha.
Lalu, kenapa berlari? Ustadzah Poppy yang membawakan materi hari itu mengatakan Hajar meninggalkan anaknya di lembah antara bukit Shofa dan Marwah. Hajar khawatir anaknya diganggu binatang buas sepeninggalannya, karenanya ia berlari agar anaknya tetap dalam pandangannya. Hikmahnya, jika harus seorang istri menggantikan tugas suami dalam mencari nafkah, pastikan anak-anak berada dalam jangkauan pandangannya (tetap dalam pengasuhannya). Ini langsung ngilu di hati saya. Mengingatkan kembali sebuah tugas besar seorang Ibu: mempersiapkan generasi. Maka semestinya segala remeh temeh dunia tidak menyilaukan.
Belajar dari Hajar
Belajar dari Hajar tentang betapa hebatnya seorang perempuan, suami adalah qawwam yang harus ditaati. Biar di luar rumah ia pemimpin, pembuat keputusan, orang berpengaruh tapi jika di rumah istri adalah istri. Tugasnya taat pada suami. Dan ini bukan sama sekali bentuk perendahan, tetapi perlindungan. Perlindungan atas fitrah perempuan.
Belajar dari Hajar, fokus saja pada usaha yang bisa dilakukan sembari tidak meninggalkan fitrah kita sebagai seorang Ibu. Di akhirat kelak nak-anak ini kelak akan membayar kasih sayang kita.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi yang membaca. Terima kasih.