Dawud, usia 6 bulan, sakit sejak Jumat (31 Januari 2020). Demam disertai batuk pilek membuat Dawud tidak nyaman tidur di malam hari. Suatu malam Dawud muntah setelah menyusu. Terhitung 3 kali muntah dalam satu malam dan selalu terbangun setiap setengah jam. Paginya, kami (saya dan suami) memutuskan untuk konsultasi pada dokter di RS Hermina Bekasi.
Setelah random memilih dokter spesialis anak yang sedang praktek pada saat itu, kami menunggu tidak lama lalu masuk ke ruangan dokter. Kami disambut dokter dengan wajah datar cenderung cemberut. Setelah melakukan pemeriksaan, dokter bertanya satu dua hal sembari menuliskan resep.
“Sakitnya apa, dok?”, tanya saya sekedar memastikan.
“Flu”, jawabnya singkat tanpa memandang.
“Berarti muntahnya karena flu ya, dok?, lagi-lagi, memastikan.
“Iya memang bayi kalo flu pasti berdahak. Muntahnya karena dahak. Mau diuap? Lebih cepet biasanya sembuhnya”.
“Boleh, dok”. (Review tentang penguapan dapat dilihat di sini)
“Ini saya kasih Paracetamol, obat batuk sirup, antibiotik dan puyer”, jelasnya masih sambil menulis.
Kami diam. Haruskah antibiotik untuk mengobati flu? Setelah keluar dari ruangan dokter, kami berdiskusi. Hasilnya, kami hanya tebus obat batuk dan Paracetamol serta memutuskan mengambil penguapan. Sembari menunggu registrasi penguapan, saya konsultasi dengan seorang teman yang juga dokter tentang antibiotik yang diresepkan dokter untuk Dawud yang sakit flu.
“Memang pengobatan itu adalah seni masing-masing dokter”, jawabnya diplomatis. Galau menyerang. Terpikir untuk tebus sekalian antibiotiknya. Dalam perjalanan menuju farmasi, saya melihat sesuatu di dinding:
Insya Allah mantap. Kami tidak menebus antibiotik.
Sumber gambar header: pixabay
One reply on “Antibiotik”
[…] Tempo hari saya sempat menulis tentang keputusan saya tidak tebus puyer dan antibiotik yang dokter resepkan untuk Dawud. Jelasnya bisa lihat di sini. […]