Diakusisinya Uber oleh Grab pada tanggal 26 Maret 2018 menyisakan banyak cerita dan analisa. Saya tentu saja tidak akan menganalisa dari sisi ekonomi, bisnis, politik dan sebagainya. Saya ingin menuangkan cerita. Tentang seorang penggemar (berat?) Uber.
Berawal dari jatuh hati pada aplikasi Uber, seorang pria melamar menjadi driver Uber motor pada suatu hari, tidak lama setelah istrinya melahirkan. Ditentang oleh Ibu dan istri semakin memperkuat keinginannya, “aku seperti orang yang jatuh cinta”, katanya suatu saat. Pekerjaan utamanya karyawan kantoran. Setiap berangkat dan pulang kerja disempatkannya nguber. Kecintaannya pada Uber membesar. Ia bergabung pada komunitas driver Uber di Facebook, memiliki 2 helm Uber berbeda versi, mengganti bunyi alarm menjadi bunyi notifikasi Uber dan membeli kaos hitam bertuliskan UBER.
Layaknya seseorang yang terlalu bahagia, ia merasa orang lain perlu ikut gembira seperti gembiranya. Diajaklah beberapa teman kantor mendaftar sebagai driver Uber motor. Akibatnya, ia membentuk grup whatsapp komunitas driver Uber teman sekantor. Apa isinya? Berbagi motivasi, pengalaman trip, arahan dari senior ke junior driver. Sebagai pengusung, pria ini didapuk sebagai ketua grup sekaligus ketua komunitas. Suatu hari seorang member grup tersebut menghubungi sang ketua, ia menyatakan bahwa tidak lagi bisa narik Uber karena kendala ijin istri. Sang ketua turut sedih. But, life must go on.
Targetnya sebagai driver Uber ada 2: mengejar insentif dan mempertahankan rating di posisi terbaiknya. Dalam rangka mengejar insentif, pria ini sempat cuti kerja demi meningkatkan jumlah trip. Diatur waktunya agar dalam jumlah hari yang ditentukan terkejar target trip untuk mendapatkan insentif. Kadang tercapai, kadang juga tidak. Beda lagi cerita tentang maintain rating. Setiap selesai mengantar penumpang, pria ini akan mengirimkan sms seperti ini:
Di akhir hari, ia akan memantau pergerakan rating dengan menyalin perhitungan rating di Google Sheet. Dengan demikian, ia dapat memperkirakan siapa penumpang yang memberikan bintang bukan 5-bintang.
Kecintaan pada Uber ini mendadak remuk. Akuisisi Uber oleh Grab membuatnya limbung hilang semangat. Dua minggu sebelum batas akhir keberadaan Uber, pria ini tidak lagi narik. Berangkat kerja tidak lagi menggunakan motor, berganti moda menggunakan commuterline. Beberapa kali didapati ia pandang-pandangi aplikasi Uber dengan wajah sedih. Testimoni pelanggan pada aplikasi ia simpan sebagai kenangan. Malam terakhir pada tanggal 7 April 2018 ia meminta ijin untuk narik kepada istrinya, “ Aku ingin selebrasi (selamat tinggal pada Uber)”. Tapi malam itu ia tertidur. Di luar hujan besar dan kantuk menyerang. Cintanya kepada Uber tertiup mimpi.
Tanggal 8 April 2018, ia kembali sibuk dengan percikan semangat baru: daftar sebagai driver Gojek. Pulang dari mendaftar, senyumnya lebar saat menunjukkan jaket dan helm baru. Cintanya sudah berganti.
Tanggal 9 April 2018, gemintang di matanya kembali hadir. Sepulang kerja, ia disibukkan dengan membongkar cara kerja sebuah aplikasi dari salah satu platform Ojek Online (Ojol): Anterin. Cintanya tumbuh beragam.
Jadi, seperti kata Pak Ustadz, letakkanlah dunia di tangan, jangan di hati. Uber mati, Ojol lainnya menanti.
Sumber gambar:
1. https://liputan6.com
2. Koleksi pribadi
3. Google playstore
3 replies on “Akuisisi Uber dan Seorang Penggemar”
[…] https://pei.nwr.web.id/akuisisi-uber-dan-seorang-penggemar/ […]
[…] tulisan pertama saya adalah tentang fenomena suami yang begitu menggemari Uber. Masih ingat Uber kan ya? Platform taksi dan ojek online sebelum diakuisisi oleh Grab. Memang […]
[…] tulisan pertama saya adalah tentang fenomena suami yang begitu menggemari Uber. Masih ingat Uber kan ya? Platform taksi dan ojek online sebelum diakuisisi oleh Grab. Memang […]