Di sebuah negeri terjadi percakapan antara seorang raja dan menterinya, Menteri Segala Urusan.
“Raja, Gubernur X mengeluhkan pajak yang dibebankan pada mereka. Mereka minta direview kembali besaran pajak yang ada agar lebih manusiawi. Saya kira Raja perlu bicara langsung kepada gubernur untuk memcari jalan tengah”, sang Menteri memberi laporan.
“Duh Menteri, masa aku langsung ngomong ke gubernur. Ga mungkin lah. Turun muliaku nanti. Coba kamu urus. Kan itu sudah tugasmu”, Raja menolak usul Menteri.
Beberapa bulan kemudian.
“Menteri, uang kita, eh, maksud saya pajak yang terkumpul beberapa bulan belakangan kenapa menurun? Coba lihat daerah mana yang mengemplang pajak!”, Raja terlihat tidak senang.
“Raja, daerah X yang tempo hari meminta review besaran pajak akhirnya saya bebaskan pajaknya”, Menteri menjawab sembari menyerahkan dokumen.
“Heh? Sudah gila kamu ya? Bagaimana kita biaa bangun bangunan tinggi tanpa duit pajak? Mengurus kerajaan ini juga pakai duit. Uang bulanan kamu juga dibayar dengan duit. Ambil lagi pajak dari daerah X!”, Raja murka bukan kepalang. Menteri jalan bergegas sambil bersungut: Kemarenan diajak diskusi katanya suruh selesein sendiri. Diselesein malah kita kena semprot. Ribet dah ah urusan!
Beberapa bulan kemudian.
“Raja, Gubernur Y ingin bertemu. Ia sudah bersiap di ruang tunggu”, penanggung jawab umum mengabarkan kedatangan seorang Gubernur ke kerajaan. Raja kaget merasa tidak pernah membuat janji pertemuan. Alih-alih bergegas keluar, ia meminta dipanggilkan Menteri Segala Urusan.
“Kenapa Gubernur Y bisa sampai di sini? Apa dia bilang sebelum ke sini?”, tanyanya pada sanh Menteri ketika Menteri sudah menghadap.
“Beliau mau diskusi terkait yang terjadi di wilayah Y, Raja. Gubernur Y bimbang, apakah harus lockdown atau berjalan seperti biasa karena sebagian besar warga daerah Y adalah pedagang. Penyakit menular yang menjadi wabah di sana diduga berasal dari seorang warga yang baru saja pulang dari Negeri Nun Jauh.”, panjang lebar Menteri menjelaskan.
“Loh, ini mestinya kamu yang selesaikan, Menteri! Ini kan perkara teknis. Sudah jelas ini tugasmu. Lagian, kalau Gubernur diskusi langsung dengan saya, turun mulia saya. Diskusi sama Raja kok begitu mudahnya. Eksklusif dong. Apa tugasmu kalau begitu?!” panjang pendek Raja ngomel-ngomel.
“Baik, Raja. Akan saya urus Gubernur Y”, Menteri langsung bergegas ke luar ruangan Raja. Salah mulu, salah mulu. Ribet juga ini urusan mulia. Makanya jangan taro di atas itu mulia, kan jadi ga bisa turun kalo udah di bawah. Resign juga nih gue jadi Menteri.
Begitulah. Akhirnya negeri tersebut terserang penyakit mematikan dua bulan setelah kunjungan Gubernur Y. Berawal dari propinsi Y, virus menyebar cepat ke seluruh negeri. Tidak ada negeri lain yang mau menerima pedagang dari negeri ini. Semua negeri tetangga menutup diri. Takut akan wabah penyakit. Ternyat pada hari itu, Menteri memerintahkan untuk tidak me-lockdown propinsi Y.
“Jangan lu lockdown dah. Nanti lu ga ada pemasukan, ga bisa bayar pajak. Lu ga bayar pajak, Raja mereh-mereh lagi ke gue. Lu tetep dagang dah sono. Penyakit mah dirasain aja udah.”
4 replies on “Ilusi Kemuliaan”
Hahaha..
Bgus ilustrasinya, Kak..
seharusnya sebagai pemimpin yang ‘mulia’ dia harus turun tangan dan nyelesaikan semua masalahnya sendiri..
bukannya lempar badan ke yg lainnya.
Eh kenapa harus pkek y x?
?
dongeng yang penuh makna…